Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

24 Mei 2009

Membid’ahkan Islam Tradisi, KO Soal Mim Nun

Ini kisah umat Islam Bali. Muslim di Bali adalah para pendatang dari berbagai daerah. Tidak hanya itu, mereka berasal dari beragam paham keagamaan : muslim tradisional dan wahabi. Mereka pu juga berangkat dari berbagai profesi : pedagang, pegawai, dan pekerja sector jasa. Uniknya, umat Islam di Bali berkumpul dalam satu komunitas. Disitu lengkap dengan fasilitas pendidikan Islam dan sarana ibadah, masjid.
Namun ciri utama di komunitas muslim Bali, bercorak Islam Tradisional. Di Masjid itu, mereka sudah bertahun-tahun mengamalkan tatacara ibadah dan berbagai kegiatan seperti tradisi Barzanjian, Maulid Nabi SAW, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan Tahlilan setiap malam Jum’at.
Entah siapa yang mengundang, suatu hari pengajian di Masjid itu diisi oleh seorang Ustadz yang beda aliran dengan paham tradisi umat Islam disitu. Sebut saja Ustadz Hartono, yang dalam ceramahnya mengupas masalah khilafiyah. Dia mengatakan, bahwa semua amalan ibadah umat Islam seperti barzanji, tahlilan maulidan dan lainnya menurut ajaran Wahabi adalah salah dan bahkan syirik. Karena itu masyarakat harus segera meninggalkan tradisi itu. Tradisi masyarakat yang turun temurun itu bukan ibadah sesuai tuntutan agama, melainkan itu hanya budaya.
Mendengar ceramah Ustadz Hartono, jama’ah masjid menjadi galisah. “Kok ada Ustadz aneh-aneh kaya gini ya?” ujar salah seorang jama’ah. Yang lainnya malah ada yang mempertanyakan, siapa yang mengundang Ustadz yang telah meresahkan jama’ah itu.
Giliran jadwal ceramah keesokan harinya adalah Ustadz Fathan. Ia justru menerangkan materi yang sebaliknya : bahwa barzanjian, tahlilan, maulidan dan lain sebagainya adalah praktek keagamaan. Tradisi Islam itu sesuai sunah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Semua tradisi itu merupakan bagian dari ibadah.
Kini yang dilanda kebingungan adalah jama’ah Masjid. Di satu sisi ada Ustadz yang menganjurkan melaksanakan ajaran tradisi, di sisi lain justru malah melarang. Ustadz hartono menegaskan bahwa harus meninggalkan ajaran tradisi, karena itu perbuatan bid’ah dan dosa. Sementara Ustadz Fathan, justru malah menyuruh melestarikan ajaran tradisi itu dan pihaknya beranggapan itu merupakan bagian dari ibadah yang diamalkan secara ikhlas pasti mendapat pahala.
Ketegangan terus menjadi-jadi, karena kedua Ustadz itu terlibat polemik yang semakin seru. Bahkan menjurus pada kekerasan fisik.
Melihat gelagat yang kurang baik itu, DKM Masjid berinisiatif untuk mengakhiri polemik yang semain meruncing itu. Sebab, sudah akan mengarah pada anarkhisme. “Lho, wong orang kumpul di Masjid ini ingin kedamaian, kok sejak ada Ustadz Hartono jama’ah jadi resah” kata salah seorang takmir Masjid yang masih keturunan Jawa. Kemudian diputuskan untuk mempertemukan kedua Ustadz yang saling beda pendapat itu.
Maka dibukalah forum mujadalah (perdebatan) yang disaksikan jama’ah Masjid. Jama’ah yang dating pun membludak karena ingin mengetahui perdebatan dan keputusan akhirnya. Mujadalah akhirnya dimulai, dan yang memandu forum tersebut, seorang moderator yang kebetulan Ketua DKM Masjid itu sendiri. Moderator mempersilakan Ustadz Hartono terlebih dahulu untuk menyampaikan materi pembahasannya dan mengurai dalil-dalil bahwa Islam Tradisi itu bid’ah dan syirik. Maka Ustadz Hartono tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dia langsung mengeluarkan dalil-dalil yang memperkuat argumentasinya. Setelah tuntas, kemudian moderator mempersilakan Ustadz Fathan, pihak yang berseberangan pendapatnya dengan Ustadz Hartono.
Ustadz Fathan tidak langsung menanggapi isi dalil yang disampaikan Ustadz Hartono. Ia malah mempersoalkan tentang kaidah bahasa, Nahwu-Sharraf atau segi gramatik bahasa Arabnya. Yang dipersoalkan Ustadz Fathan diantaranya adalah menanyakan mim-man. “Itu kedudukan man-nya dalam nahwu, man apa ya?”, tanya Ustadz Fathan.
Mendengar pertanyaan Ustadz Fathan seperti itu, Ustadz Hartono memprotes : “Kita disini mau berdebat tentang amalan, bukan berdebat tentang gramatika bahasa!!!”, ujar Ustadz Hartono.
Melihat reaksi Ustadz Hartono, Ustadz Fathan mencoba menjawabnya dengan tenang. “Memang ini perdebatan harus pakai dalil, tetapi perlu diingat syarat memahami dalil harus mengerti benar gramatika bahasa Arab dengan detail. Karena dalam bahasa Arab, satu huruf saja tersimpan makna yang berbeda dan kesimpulannya juga akan berbeda. Jadi kalau tidak bisa menjawab hanya persoalan mim dan nun saja, bagaimana nanti kita akan menjawab ya, kaf, dal…… dan seterusnya?!!”, urai Ustadz Fathan disambut dukungan hadirin.
Mendengar penjelasan Ustadz Fathan, Ustadz Hartono tercengang dan kelihatan bingung. Dia mungkin tidak menyangka sama sekali kalau pembahasannya menjadi serumit itu.
Melihat Ustadz Hartono bingung, Ustadz Fathan mengusulkan pada moderator: “Kalau begitu perdebatan tidak bisa dilanjutkan. Karena Ustadz Hartono ternyata belum mengerti betul soal dalil, ibarat mau membicarakan mobil, tetapi busi saja tidak mengerti. Apa kata dunia………??!!!”, ujar Ustadz Fathan seperti meniru logat Naga Bonar, yang disambut gerr jama’ah Masjid tersebut.

Mukhlas Syarkun
Risalah NU, Edisi No. 9/Thn II/1429 H, hal. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar