Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

24 Mei 2009

SEKILAS PANDANG MENGENAI AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Penulis: H.M. Luthfi Bashori

Membahas Ahlus Sunnah wal Jamaah (aswaja) akan membutuhkan curahan perhatian dan konsentrasi penuh, apabila ingin memahaminya secara detail dan sempurna. Karena pembahasan tentang aswaja dapat berorientasi terhadap berbagai macam tinjauan, perumusan dan pemahaman, sesuai dari sudut mana memandangnya.

Tinjauan pertama, aswaja diartikan sebagai suatu kajian ilmiah yang bisa dipelajari lewat literatur-literatur. Kedua, aswaja merupakan suatu keyakinan yang bertempat jauh di lubuk hati, yang mewarnai perilaku hidup seseorang. Ketiga, aswaja bisa dipandang sebagai wadah bagi berkumpulnya individu yang mengarah kepada satu misi yang disepakati. Dan masih banyak lagi rumusan pengertian dan pemahaman aswaja menurut titik pandang tertentu yang selama ini terus berkembang di kalangan masyarakat.

Bentuk dari perkembangan rumusan pengertian dan pemahaman aswaja ditandai dengan banyaknya ORMAS (Organisasi Massa) yang sering mengklaim atau mengatasnamakan dirinya sebagai ormas aswaja. Tempat pendidikan semacam pesantren, madrasah diniyah, madrasah dengan kurikulum formal dan majlis taklim juga banyak yang memasang label aswaja sebagai asas organisasi. Bahkan menjamurnya orsospol / partai politik di era reformasi ini juga tak luput dari embel-embel aswaja pada asas partai dan AD/ART-nya.
Karena setiap individu dan kelompok mempunyai kepentingan dan tinjauan yang berbeda-beda, maka pemahaman tentang aswaja juga menjadi bervariasi antara satu dengan yang lain. Bahkan terkadang di antara kelompok tersebut ada yang merasa ‘lebih aswaja’ dibanding kelompok lain. Hal ini juga sejalan dengan firman Allah yang artinya :

“Setiap kelompok pasti membanggakan ciri khas yang ada pada dirinya.”
(QS. Al mukminun, 53).

Maka, kuat/lemahnya pengakuan mereka tergantung dari kadar pemahamannya terhadap aswaja, serta penerapannya terhadap prilaku kelompok tersebut sesuai dengan kaedah-kaedah yang terkandung di dalam aswaja itu sendiri. Seorang penyair mengatakan:
Wakullun yadda’i wushlan bi Laila # wa Laila la tuqirru lahu bi dzaka
“Semuanya mengaku sebagai pecinta (kekasih ) Laila. Namun Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya”.
Syair tersebut mengisyaratkan bahwa sebaik-baik pengakuan adalah pengakuan yang disesuaikan dengan keadaan sebenarnya.

Agar kelompok-kelompok yang mengaku sebagai ‘anak buah’ aswaja bisa mengenali dirinya sendiri, apakah ia sudah sesuai dengan aswaja atau belum, maka sebagai pengenalan dasar hendaknya memperhatikan hadits nabi tentang definisi aswaja :
“Telah terpecah kaum Yahudi tujuh puluh satu golongan, dan terpecah pula kaum Nasrani menjadi tujuh puluh dua golongan, sedangkan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya berada di neraka kecuali satu golongan”. Tatkala Rasulullah SAW ditanya tentang golongan yang selamat itu, beliau SAW menjawab: “Golongan yang mengikuti perilakuku dan perilaku para shahabatku”.
Hadits ringkas dan padat ini sebenarnya mempunyai arti dan kandungan yang sangat luas, bahkan telah mencakup seluruh sendi dan pilar agama Islam. Sebab inti dari beragama Islam adalah ittiba’ (mengikut secara mutlak) kepada Rasulullah SAW.

Beberapa hal yang merupakan dari ittiba’ (mengikuti) kepada beliau SAW misalnya :

Perintah Rasulullah SAW terhadap pelaksanaan shalat yang merupakan ‘imaduddin (tiang agama) beliau SAW bersabda yang artinya : “Shalatlah seperti kalian melihat aku shalat”
Perintah menunaikan ibadah haji, sabda beliau yang artinya: mencontohlah dariku manasik haji kalian”
Dua hal di atas dikuatkan oleh ayat Alquran artinya : “Dan bagi kalian pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik” (QS. Al-ahzab,21).
Dua contoh di atas sengaja disederhanakan, namun tidak berarti meniru Rasulullah SAW hanya dalam hal-hal ibadah Mahdhah seperti itu, karena ayat tersebut di atas memberi peluang gerak yang lebih luas lagi, yaitu perintah meniru perilaku Rasulullah SAW termasuk dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berpolitik, dan bernegara.

Di samping itu, kita tidak boleh mengenyampingkan ilmu dan ajaran para shahabat Nabi SAW, di mana mereka adalah murid-murid Nabi SAW yang dalam kehidupan sehari-harinya berkiblat pada beliau SAW. Lebih-lebih lagi mereka hidup pada zaman diturunkannya Alquran. Maka secara otomatis perilaku para sahabat telah terkontrol oleh turunnya ayat Alquran maupun sabda dan pengawasan Rasulullah SAW secara langsung. Demikianlah kira-kira arti yang tersirat dalam hadits Nabi SAW di atas.

Dari sinilah individu dan kelompok yang telah mengklaim dirinya sebagai penganut aswaja, pertama harus tahu persis tentang pribadi Nabi SAW dan ajaran syariatnya secara menyeluruh dan berupaya menjalakan ajaran tersebut secara utuh, artinya menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari baik yang berkaitan dengan urusan pribadi dan keluarga, hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik tata cara berekonomi, sosial, politik maupun beragama.

Kedua, harus rajin mempelajari biogarafi para shahabat, ajaran dan ijtihad serta pemikiran mereka untuk diresapi dan diikuti sebagai pijakan menjalankan rotasi kehidupan secara islami yang haqiqi. Tanpa itu, pengakuan sebagai penganut aswaja, hanyalah fatamorgana belaka.


ASWAJA DAN PRILAKU UMAT DEWASA INI
( Bagian Kedua )

Apabila umat Islam sudah memahami bahwa inti dari aswaja adalah ittiba’ (mengikuti) Rasulullah SAW, maka tentunya setiap individu muslim bisa mengukur dirinya apakah sudah tepat bila ia mengaku dan menggolongkan dirinya sebagai penganut aswaja. Ataukah prilakunya telah menyimpang dari ajaran murni yang dibawa Nabi Muhammad SAW hingga keluar dari lingkup aswaja. Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya, sebagaimana yang diriwayatkan Ummul Mukmini ‘Aisyah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa menciptakan didalam agama kami apa yang bukan termasuk agama kami, maka hal itu ditolak” ( HR. Bukhari dan Muslim).
“Berhati-hatilah kalian terhadap amal-amal ciptaan baru, karena sesungguhnya sebagian bid’ah (ciptaan baru) itu sesat” (HR. Abu Dawud dan at Tirmidzi, hadits hasan shahih)

* Sebagai keterangan ringkas, Kullu Kulliyah diartikan “seluruh” sedangkan Kullu Kulli diartikan “sebagian” (harap merujuk kepada ilmu Manteq, dan bukan dalam forum ini pembahasannya)

Jika kita merujuk kepada dua hadits di atas, maka kita akan mendapati betapa banyak amalan kaum muslimin saat ini yang ditolak oleh Islam, sebab mereka telah masuk pada wilayah bid’ah, seperti adanya sekolah dengan label Islam bahkan label aswaja, yang mencampuradukkan siswa dan siswi dalam satu kelas tanpa ada sekat/tabir. Pencampuran lelaki dan perempuan dalam satu tempat inilah di antara bid’ah yang berkembang di tengah masyarakat.

Pengertian bid’ah tidaklah mutlak harus menuju ke arah dhalalah (sesat), sebab umat Islam juga harus mengacu kepada sabda Rasulullah SAW :
“Hendaklah kalian berpeganf teguh terhadap sunnahku dan sunnah al-Khulafair Rasyidin yang mendapat petunjuk (HR. Abu Dawud dan at Tirmidzi, hadits hasan shahih)

Suatu saat, terjadi perbedaan cara melaksanakan tarawih di kalangan para shahabat, maka atas ijtihad dari sayyidina Umar bin Khattab ra, rakaat shalat tarawih ditetapkan sebanyak 20 rakaat dengan berjamaah di masjid. Kemudian sayyidina Umar bin Khattab berkomentar:
“Sebaik-baik bid’ah adalah (shalat tarawih denagan cara) ini” (HR. al-Bukhari)

Bermula dari dua riwayat di atas, para ulama membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dlalalah.

Bid’ah hasanah adalah amalan yang baru di dalam Islam, namun jika ditilik secara detail, maka setiap bagan dari amalan tersebut masih berada dalam lingkup makna yang tersirat di dalam ayat Alquran atau Hadits.
Beberapa contoh bid’ah hasanah yang berkembang di tengah masyarakat adalah:
1.Penghormatan terhadap kelahiran Rasulullah dengan membaca maulid Diba’ dengan dilagukan. Amalan ini berasal dari perintah Alquran maupun Hadits tentang pentingnya bershalawat kepada Nabi SAW. Karena itu isi maulid Diba’ adalah bacaan shalawat kepada Nabi SAW, sedang beliau SAW juga merayakan hari kelahirannya dengan cara berpuasa pada setiap hari Senin.
2.Mengadakan tasyakkur haji dengan mengundang tetangga dan memberi mereka makan.
3.Penyambutan jamaah haji dengan diarak shalawat terbang, serta memberi makan para tamu yang ziarah haji.
4.Membaca puji-pujian kepada Rasulullah SAW dengan lagu-lagu yang dibaca sebelum shalat jamaah dimulai, atau qasidah-qasidah yang dibaca secara koor / bersama-sama yang semuanya berisi shalawat kepada Nabi SAW

Bid’ah dhalalah adalah amalan baru di dalam Islam, yang tidak ada landasan sedikitpun dari Alquran maupun Hadits, bahkan cenderung melanggar syariat Islam.

Bid’ah dlalalah yang tengah berkembang di masyarakat sangatlah banyak. Adakalanya dianggap ringan sebab tidak sampai menjurus kepada kekufuran atau kemurtadan, yaitu bid’ah yang sifatnya bertentangan dengan hukum haram, seperti mengadakan rombongan ziarah Wali Sanga dalam satu bus yang pesertanya bercampur antara lelaki dengan perempuan yang bukan mahramnya, bahkan terkadang dipimpin seorang wanita. Ziarah ke makam para shalihin hukumnya boleh, asalkan tidak melanggar ketentuan syariat Islam.

Contoh lain adalah mengadakan pengajian umum di tengah lapang, dengan pengunjung lelaki dan perempuan yang bercampur aduk tanpa pembatas. Sebelum acara inti, diselingi orkes gambus oleh fatayat, bahkan seorang mubalighah tampil sebagai pembicara, dan terkadang mengenakan baju sedikit ketat dan tipis, plus perhiasan yang sangat menarik kaum lelaki yang memandangnya.

Sudah selayaknya para pengikut aswaja menghindari bid’ah semacam di atas. Serta meemperhatikan firman Allah SWT yang artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…………….” (An Nur : 31)

Termasuk bid’ah yang sering terjadi pada tempat-tempat pendidikan Islam saat ini adalah seorang guru lelaki dengan leluasa masuk dan mengajar pelajar putri tanpa batas sesuai ketentuan agama, atau dalam satu kantor pesantren / madrasah, atau bahkan kantor ormas Islam yang selalu menyuarakan aswaja, justru yang bertugas adalah pengurus putra dan pengurus putri dalam satu ruangan bahkan dengan leluasa berinteraksi seperti layaknya saudara se mahram. Allah SWT berfirman yang artinya :
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”. (Al Ahzab : 53)

Ayat ini menunjukkan bahwa hubungan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya, haruslah dibatasi dengan tabir.

Adapun bid’ah dhalalah yang sangat mengkhawatirkan dapat menjurus kepada kemurtadan dan kekufuran, juga telah banyak berkembang di kalangan umat Islam dewasa ini, yang kadangkala dilakukan secara individu maupun secara berjamaah. Sebagai contoh, seorang muslim mengucapkan dengan serius kepada non muslim, semisal : Selamat Natal, bahkan ikut bergembira dan merayakan perayaan natal tersebut baik di gereja maupun di tempat lain. Contoh lain adalah mengadakan ritual doa bersama muslim-non muslim, dengan mengamini setiap doa yang dilantunkan oleh setiap tokoh agama yang berlainan. Bid’ah mencaci-maki para shahabat Nabi SAW senabagimana yang sering dilakukan oleh pengikut aliran Syi’ah Iran. Demikian dan lain sebagainya.

(pejuangislam)

Sumber : www.pejuangislam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar